SEJARAH JAMBI

Istilah Melayu dalam sejarah sudah sangat tua, yang nampaknya berlaku untuk tempat di
Sumatera atau mungkin di wilayah Selat Malaka umumnya. Kerajaan Melayu diketahui melalui naskah kekaisaran Cina Dinasti Tang pada tahun 644 M, dan melalui Yijing/Yi-Tsing pada abad tersebut, melakukan perjalanan dari Kanton menuju India pada tahun 672 M yang singgah di Melayu sebelum ke India. Teridentifikasi sebagai pelabuhan tempat singgah menunggu pergantian angin, adalah pelabuhan Kuala Tungkal saat ini. Dari sumber lain diketahui bahwa, abad 12 ahli ilmu bumi Arab Edrisi juga menyebut “Malai” sebagai pulau besar Asia selatan penuh dengan emas, rempah-rempah, gading gajah dan cula badak. Prasasti Tanjore tahun 1030 dan Marco Polo sekitar tahun 1290 juga mengenal “Malayur” sebagai satu kerajaan Kuno Sumatra.

“Melayu” muncul sebagai sebuah kerajaan yang lebih spesifik di utara Sriwijaya dimana pada tahun tersebut Melayu mengirimkan utusannya dengan membawa tribute hasil bumi ke Cina. Asumsi origin ‘Melayu’ pada era itu lebih merujuk kepada daerah bukan ras/bangsa atau kaum. Melayu diduga kuat terpusat terutama di wilayah Jambi. Secara definitif tercover dalam Sriwijaya, dan dalam naskah kekaisaran Cina, secara konservatif tetap di klaim sebagai Sriwijaya sampai kerajaan itu ditelan bumi.

Saat ini rekonstruksi ilmiah masih dalam ambivalensi mengidentifikasi Melayu dengan Jambi dan Sriwijaya dengan Palembang, karena perbedaan versi naskah dari Cina dan dari Jawa.

Dalam catatan sejarah, Bandar Sriwijaya maju pesat sebagai pusat perdagangan yang pada tahun 1070 M – 1110 M diserang oleh Kerajaan Rajendracola dari India dan Kerajaan Darmawangsa. Pada tahun 1178 M praktis Sriwijaya melemah dan tidak lagi menjadi pusat perdagangan dan berada dibawah pengawasan Colamandala yang menempatkan delegasi pengawasannya di Kerajaan Melayu Jambi. Berita Cina menyebutkan pula bahwa pada tahun 1082 M ibukota Sriwijaya pindah dari Palembang ke Jambi dan utusan yang dikirim ke Cina di tahun 1079 M dan 1088 M berasal dari Zanbei (Jambi).

Paling spesifik adalah referensi dari naskah Jawa abad ke-14, Pararaton, Kidung Ranggalawe dan Nagarakertagama, disebutlah Pamalayu, atau ekspedisi untuk menaklukkan Kerajaan besar Sumatra “Melayu” diputuskan tahun 1275 oleh Raja Kertanegara dari Singasari. Positioning Kerajaan Melayu sebagai pusat perdagangan elit, memancing Singasari untuk melakukan invasi militer. Disinilah dimulainya periode Chaos ditanah Melayu, disatu sisi diserang Jawa karena alasan ekspansi, disisi lain raja terakhir Sriwijaya dalam status vonis oleh pengadilan Cina karena membangkang. Menurut Sumber Cina, Kaisar juga mengirim ekspedisi untuk menumpas Pembelot dari Kanton bernama Liang Dao-ming yang melarikan ribuan personel militernya dan berkomplot dengan Sriwijaya. Jadi ekspedisi Pamalayu juga suatu misi blokade sebelum rendezvous dengan Armada Maritim Cina yang sama-sama berniat menyerbu sriwijaya sekaligus mengklaim melayu sebagai bagian koloni mereka.

Setelah berhasil menaklukkan kerajaan Melayu, ekspedisi ini kembali ke Jawa pada tahun 1294 M, Namun Kertanegara justru tewas dalam pemberontakan Jayakatwang, Singosari pun tumbang. Sebaliknya Raden Wijaya yang tak lain adalah menantu Kertanegara berhasil merebut kembali kekuasaan dari Jayakatwang pada tahun itu juga dan berdirilah kerajaan baru, Majapahit. Ekspedisi Pamalayu yang kembali saat Majapahit baru berdiri, memboyong dua puteri Melayu, Dara Petak dan Dara Jingga. Dari rahim kedua puteri ini lahirlah pemimpin dan pembesar kenamaan Jayanegara dan Adityawarman.

Jayanegara menjadi Raja Kedua Majapahit sedangkan Dara Jingga yang hamil kembali ke Dharmasraya (Kerajaan Melayu) tempat pamannya Rajendra Mauliwarmadewa memerintah, dan melahirkan Adityawarman. Adityawarman didaulat memerintah territorial Sumatera atas lisensi Majapahit. Misinya disamping menguasai perdagangan, juga mencegah reruntuhan kekuatan Sriwijaya bangkit kembali. kemudian ia berekspansi ke barat dan mendirikan kerajaan baru, Pagaruyung tahun 1349 M seperti tertulis dalam prasasti Amoghapasa.

Seabad kemudian Jambi/Melayu diperintah oleh Tun Talanai. Pasca kekalahan Pagarruyung dalam perang karena ingin lepas dari Majapahit. Eksodus Seorang keturunan Adityawarman bernama Putri Selaro Pinang Masak dari Pagarruyung melakukan manuver merebut Kerajaan Jambi ketika Tun Talanai terbunuh oleh anaknya sendiri. Putri Selaro Pinang Masak memimpin kerajaan Jambi yang berpusat di Dendang Muara Sabak lalu Pindah ke Ujung Jabung di Daerah pantai Cemara. Dia menikah dengan seorang pria Turki yang terdampar di Pulau Berhala (pulau yang dipenuhi berhala, yang kemudian dihancurkannya karena bertentangan dengan syariat Islam), Ahmad Barus II yang digelari Datuk Paduko Berhalo. Mereka bersama-sama memerintah Jambi hingga 1480 M, dan mulailah pengaruh Islam menyebar di Kerajaan Melayu. ketika ia wafat, digantikan oleh putra sulungnya Orang Kayo Pingai (1480-1490 M). Kemudian kepemimpinan dilanjutkan putra keduanya Orang Kayo Kedataran (1490 – 1500 M). Lalu putra ketiga bernama Orang Kayo hitam memimpin sejak 1500 – 1515 M.

SUMBER http://riumanjisen007.wordpress.com

RUMAH SAKIT TERAPUNG

KRI dr Soeharso, Rumah Sakit Terapung Satu-satunya di Asia Tenggara

Di antara sejumlah aset Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dianggap tidak memenuhi unsur kelayakan, masih ada segelintir “harta” yang bisa dibanggakan. Salah satunya adalah armada rumah sakit terapung KRI dr Soeharso. Bukan hanya desain yang canggih, kapal itu juga dilengkapi fasilitas medis mutakhir.

ZULHAM MUBARAK, Manado

Dengan dimensi panjang 122 meter dan bobot saat kosong 11.394 ton, KRI dr Soeharso terlihat menonjol di antara kapal-kapal nelayan yang melaut di sekitar Teluk Manado. Sudah hampir sepekan terakhir kapal yang juga disebut rumah sakit terapung tersebut parkir di Perairan Manado.

Hal itu dilakukan tak lain karena KRI yang memiliki fasilitas medis terapung lengkap tersebut menjadi tenaga medis cadangan selama World Ocean Conference (WOC) berlangsung di kota itu. Jawa Pos (induk Jambi Independent) pun berkesempatan mengintip ke dalam kapal tersebut.

Untuk bisa masuk ke dalam KRI dr Soeharso, semua orang harus menggunakan fasilitas speed boat dari darat. Kapal dengan daya angkut 11.300 ton dan berkecepatan maksimum 15 knot itu hanya bisa diparkir pada kedalaman lebih dari 15-20 meter. Setelah sampai di pintu masuk lambung kapal, pengunjung disuguhi fasilitas yang cukup istimewa karena kapal tersebut memiliki ciri khas berupa dockwell alias dok terapung.

Dua kapal kecil jenis LCU-23M diparkir dalam lambung seluas kurang dari 500 meter persegi itu. “Dok terapung ini memudahkan pasien ke dalam kapal dengan kapal kecil. Biasanya ruangan ini diisi penuh air untuk keperluan itu. Namun dalam keadaan normal ini dikeringkan,” jelas salah seorang teknisi, Serka Effendi Yuspriyatno, yang mengantarkan Jawa Pos berkeliling kapal.

Dari lambung kapal di lantai satu, tur pun berlanjut ke ruangan-ruangan di KRI tersebut. Rombongan pun langsung menuju tangga ke lantai atas. Namun seketika para kru menghentikan mereka. Ternyata untuk naik-turun di kapal lima lantai itu, rombongan bisa menggunakan lift. “Ini fasilitas yang tidak selalu ada di kapal-kapal perang,” ujarnya.

Para anggota tur merasa semakin nyaman ketika hendak naik-turun dan menjelajahi kapal yang terdiri atas lima lantai tersebut. Lantai dua kapal itu terdiri atas ruang-ruang yang merupakan bangsal dan kamar isolasi serta ruang untuk rapat kru dan kamar-kamar kru.

Lantai tiga terdiri atas fasilitas perawatan rumah sakit. Lantai empat dan lima merupakan kamar-kamar kru, ruang pertemuan, dan fasilitas operasional kapal. “Di atasnya lagi adalah ruang kemudi dan nakhoda. Tapi karena berada di dek paling atas, ruang itu tidak disebut lantai enam,” katanya.

Jawa Pos mengamati, lorong-lorong dan koridor dalam kapal tersebut terlihat sangat rapi dan bersih. Lantai serta tembok kapal terlihat mengilat layaknya sepatu yang baru disemir. Dalam kamar dan kabin-kabin utama, kasur serta meja terlihat ditata rapi.

Kondisi itu membuat kapal terasa sangat nyaman, walaupun lorong dan kamar terasa lebih sempit jika dibandingkan bangunan biasa. “Kami merawat kapal ini lebih baik daripada merawat diri kami sebab ketika kami melaut, kapal adalah aset utama untuk hidup,” celetuk salah seorang kru yang kebetulan melintas ketika Jawa Pos memperhatikan salah satu bagian kapal yang tampak mengilat.

Rombongan menghabiskan waktu paling lama di lantai tiga. Di sana seluruh kegiatan medis dipusatkan. Lantai tiga menjadi salah satu bagian vital kapal yang berfungsi sebagai rumah sakit terapung itu. Lorong-lorong dalam lantai tiga terdiri atas sekitar 40 ruangan kecil dilengkapi fasilitas kesehatan lengkap dan memiliki berbagai fungsi.

Komandan KRI dr Soeharso Letkol Laut H Yudho Warsomo menjelaskan, sebagai kapal rumah sakit, telah disediakan 1 ruang UGD, 3 ruang bedah, 6 ruang poliklinik, 14 ruang penunjang klinik, serta 2 ruang perawatan dengan kapasitas masing-masing 20 tempat tidur.

Otomatis kapal itu akan sangat berguna untuk operasi di daerah-daerah perang dan daerah yang membutuhkan medical support tingkat menengah. “Karena kondisi keamanan selalu stabil, kapal ini lebih banyak digunakan untuk keperluan bakti sosial,” ujar Effendi.

Jawa Pos melihat, ruang operasional dan sarana penunjang kesehatan dibuat sangat lengkap dengan fasilitas medis standar RS pada umumnya. Tiap ruang didesain layaknya ruang praktik dokter-dokter spesialis.

Dalam ruang poli gigi, terdapat sebuah kursi untuk perawatan dilengkapi rak yang berisi alat-alat operasi gigi dan lampu operasi. Di ruang poli mata juga ada fasilitas untuk operasi kecil serta pengobatan.

Sejumlah alat kelengkapan penunjang medis seperti rontgen dan alat ultrasonografi juga ada di ruangan lain. “Itu untuk keperluan kebidanan dan penanganan patah tulang,” kata Yudho.

Dia menjelaskan, RS terapung tersebut mampu melakukan berbagai aktivitas medis, baik pengobatan maupun praktik operasi besar. Dia lantas menceritakan, ketika melakukan misi Surya Bhaskara Jaya pada Desember 2008, tenaga medis dalam kapal itu sempat melakukan operasi pengangkatan tumor seberat 2,5 kilogram dari seorang pasien asal Nusa Tenggara Timur (NTT).

Operasi dilakukan di atas kapal plus rawat inap selama dalam perjalanan ke rumah sakit yang lebih besar di pulau utama NTT. “Banyak pasien kami yang terutama dari kalangan menengah ke bawah yang merupakan penduduk kepulauan terpencil. Jadi kami transport mereka ke rumah sakit yang lebih representatif,” jelasnya.

Kru dokter juga pernah menyelamatkan seorang ibu di Bengkulu saat melahirkan bayi melalui operasi. Hal itu cukup berkesan karena wanita yang diselamatkan tim dokter tersebut hamil dan diketahui memiliki janin dalam posisi sungsang.

Rapat pun dilakukan dengan saksama dan diputuskan melakukan operasi on board. “Waktu itu terjadi insiden bayi sungsang. Jadi kami turun langsung dan bisa menangani secara cepat tanggap. Dia pun dirawat sampai sembuh,” ungkap Yudho.

Kegiatan medis seperti itu sangat mungkin dilakukan dengan taktis di kapal tersebut sebab kapal itu memiliki 75 awak buah kapal (ABK) dan 65 staf medis yang stand-by setiap saat. Karena semua tenaga medis berada di kapal, tingkat kesiagaan dalam penanganan medis bisa sangat leluasa dilakukan. Bahkan bisa lebih efektif daripada rumah sakit biasa. Dalam keadaan darurat, sang dokter hanya perlu berpindah dari kabin ke kamar perawatan pasien. “Itu akan efektif di medan pertempuran,” ujar Yudho.

Berdasarkan data yang terpampang di salah satu dinding kabin kapal, secara keseluruhan kapal tersebut mampu menampung 40-100 pasien rawat inap. Jika dalam keadaan darurat, KRI dr Soeharso juga mampu menampung 400 personel dan sekitar tiga ribu penumpang.

Bukan hanya itu, kapal bisa berguna maksimal ketika terjadi serangan senjata kimia atau biologi di daratan. Evakuasi serta karantina bisa efektif dilakukan karena kapal bisa diisolasi di lautan.

Kapal tersebut memiliki fasilitas yang bisa digunakan untuk mengisolasi pasien dari penyakit yang bisa menular dan berpotensi menyebabkan pandemi seperti flu burung serta flu babi. “Kapal ini memiliki fasilitas tangkal radiasi dan bisa dimaksimalkan ketika terjadi keadaan darurat,” tegas Yudho.

Setelah berkeliling kapal, rombongan pun diterima di salah satu ballroom kapal. Yudho lantas menceritakan, kapal yang dibuat di Korea Selatan tersebut sebelumnya bernama KRI Tanjung Dalpele. Kapal itu tergabung sebagai unsur Satuan Kapal Amfibi (Satfib) Komando Armada RI Kawasan Timur.

Kapal tersebut tiba di Indonesia pada September 2003 dan beroperasi selama empat tahun sebagai kapal bantu angkut personel. Pada 17 September 2007, kapal itu berganti fungsi menjadi rumah sakit terapung dan berganti nama menjadi KRI dr Soeharso.
Dia menjelaskan, rumah sakit terapung KRI dr Soeharso juga memiliki dua helipad yang mampu menampung dua helikopter secara bersamaan, bahkan untuk helikopter sekelas Super Puma. Yudho menjelaskan, kapal itu juga dilengkapi fasilitas persenjataan, yakni meriam 57 milimeter serta dua unit senjata mitraliur.

Dalam fungsinya sebagai kapal angkut, kapal tersebut mampu mengangkut 14 truk atau tank dengan bobot per unit 8 ton, 3 helikopter tipe Super Puma, 2 landing craft unit (LCU) tipe 23 M, serta 1 hovercraft. “Tentu itu untuk pertahanan, bukan untuk menyerang, sebab kapal ini memang dibuat untuk misi damai,” tegas Yudho.(*)

DIUNDUH DARI jambiindependent online